Haruskah Jurnalis Muslim melepas
keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistik?
Pertanyaan ini menggelitik saat niat
memutuskan untuk masuk di dunia jurnalistik karena ada cara pandang sebagian teman2
yang mengatakan, jika wartawan itu tidak melepas keyakinan agamanya ketika
melakukan tugas jurnalistiknya, maka akan kehilangan obyektivitas. Benar kah
cara pandang demikian? Bahkan Ada oknum jurnalis yang hobinya memeras narasumber.
Setelah info kebobrokan narasumber didapat, ia kemudian memeras, meminta uang.
Jika tidak diberi, jurnalis tadi mengancam akan memberitakan. Perilaku semacam
ini mencoreng korps “kuli tinta” sehingga stigma di masyarakat tentang profesi
wartawan semakin kuat.
Kemudian dengan opini itu lalu kita
berhenti, duduk manis dan pesimis?
Saya beranggapan begini, cara
pandang demikian tidak lepas dari paham sekulerisme yang memisahkan agama dari
realita kehidupan. Paham ini sudah berkelindan dalam ilmu-ilmu jurnalistik yang
diajarkan di banyak media ilmu. Keduanya sudah menjadi darah daging yang sulit
dipisahkan menurut saya. Hal itu dapat dilihat dari sembilan elemen jurnalisme
yang menjadi ideologi mainstream dalam jurnalistik. Salah satu elemen yang
diajarkan adalah, jurnalistik harus mengejar kebenaran untuk disampaikan kepada
masyarakat.
Namun, jurnalistik tidak mengajarkan
apa itu kebenaran dan apa parameter kebenaran yang dianut. Dalam kajian
jurnalistik, kebenaran menjadi relatif dengan alasan terlepas dari kepentingan
tertentu atau tidak memihak demi keberimbangan. Bagi keduanya, jurnalistik akan
sampai pada kebenaran jika sudah mewawancarai begitu banyak orang mengenai
suatu persoalan.
Dengan banyak pendapat yang
dikumpulkan, maka akan diolah untuk kemudian dijadikan sebuah kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan dari
wawancara terhadap individu tentunya akan menimbulkan persoalan lain. Bukan kah
setiap kepala memiliki pendapat yang tidak sama? Seperti pepatah mengatakan,
rambut boleh hitam, tapi isi kepala belum tentu sama.
Islam
memiliki catatan yang panjang dalam kegiatan jurnalistik. Para ulama Islam
menulis ratusan kitab yang di dalamnya sarat dengan informasi, peristiwa dan
cara pandang.
-Ali bin Abi Thalib bahkan
menggambarkan “tulisan adalah tamannya para ulama”.
-Imam al Ghazali adalah jurnalis
ketika menceritakan ulama di zamannya dalam Ihya Ulumuddin.
-At-Thabari adalah jurnalis ketika
dia merekam peristiwa sejak Nabi Adam sampai peristiwa di zamannya dalam tarikh
al Umam wa al Muluk.
-Ibnu Abdi Rabbin juga jurnalis,
ketika dia menuturkan peristiwa-peristiwa sosiokultural dunia Islam klasik.
Para ulama Islam itu merupakan
jurnalis-jurnalis andal di zamannya. Mereka jujur dan dapat dipercaya
menyampaikan informasi secara obyektif. Mereka telah berjasa bukan saja sebagai
perekam peristiwa atau pengawal peradaban Islam, melainkan juga tonggak-tonggak
sejarah perkembangan Islam.
Kitab-kitab yang mereka tulis
menjadi media yang kemudian bisa dipelajari oleh generasi saat ini. Satu hal
paling penting yang dapat diambil hikmahnya menurut saya adalah, menjadi
jurnalis yang obyektif tidak perlu menanggalkan KEBENARAN AGAMA YANG DIANUT.
Para ulama di atas mampu
membuktikan, jurnalis dengan cara pandang yang dibalut dengan Individu Islami,
tidak akan menghilangkan obyektivitas.
Kebenaran dalam Islam yang sudah dibakukan
dalam kitab suci, tidak menghilangkan obyektivitas jurnalis dalam melihat
realita kehidupan.
Tugas yang diemban seorang jurnalis
memang tidak ringan, juga tidak mudah. Disebut demikian, karena selain
mengemban tugas yang berat, juga mudah terpeleset ke wilayah ghibah dan
fitnah. Untuk tidak jatuh pada dua wilayah ini, seorang jurnalis harus super
hati-hati. Selain harus piawai melacak data, memiliki wawasan yang luas,
kemampuan menulis yang mumpuni, para jurnalis juga dituntut memahami dan mematuhi
kode etik jurnalistik.
Seorang jurnalis muslim sanggup
menjadi jurnalis profetik. artinya, yang sanggup membawa amanat agama serta
mampu melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, sehingga mendorong manusia untuk
berbuat baik, dan mencegah kemunkaran.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 110).