Haruskah Jurnalis Muslim melepas keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistik?





Haruskah Jurnalis Muslim melepas keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistik? 

 Pertanyaan ini menggelitik saat niat memutuskan untuk masuk di dunia jurnalistik karena ada cara pandang sebagian teman2 yang mengatakan, jika wartawan itu tidak melepas keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistiknya, maka akan kehilangan obyektivitas. Benar kah cara pandang demikian? Bahkan Ada oknum jurnalis yang hobinya memeras narasumber. Setelah info kebobrokan narasumber didapat, ia kemudian memeras, meminta uang. Jika tidak diberi, jurnalis tadi mengancam akan memberitakan. Perilaku semacam ini mencoreng korps “kuli tinta” sehingga stigma di masyarakat tentang profesi wartawan semakin kuat.

Kemudian dengan opini itu lalu kita berhenti, duduk manis dan pesimis?

Saya beranggapan begini, cara pandang demikian tidak lepas dari paham sekulerisme yang memisahkan agama dari realita kehidupan. Paham ini sudah berkelindan dalam ilmu-ilmu jurnalistik yang diajarkan di banyak media ilmu. Keduanya sudah menjadi darah daging yang sulit dipisahkan menurut saya. Hal itu dapat dilihat dari sembilan elemen jurnalisme yang menjadi ideologi mainstream dalam jurnalistik. Salah satu elemen yang diajarkan adalah, jurnalistik harus mengejar kebenaran untuk disampaikan kepada masyarakat.

Namun, jurnalistik tidak mengajarkan apa itu kebenaran dan apa parameter kebenaran yang dianut. Dalam kajian jurnalistik, kebenaran menjadi relatif dengan alasan terlepas dari kepentingan tertentu atau tidak memihak demi keberimbangan. Bagi keduanya, jurnalistik akan sampai pada kebenaran jika sudah mewawancarai begitu banyak orang mengenai suatu persoalan.

Dengan banyak pendapat yang dikumpulkan, maka akan diolah untuk kemudian dijadikan sebuah  kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan dari wawancara terhadap individu tentunya akan menimbulkan persoalan lain. Bukan kah setiap kepala memiliki pendapat yang tidak sama? Seperti pepatah mengatakan, rambut boleh hitam, tapi isi kepala belum tentu sama.

Islam memiliki catatan yang panjang dalam kegiatan jurnalistik. Para ulama Islam menulis ratusan kitab yang di dalamnya sarat dengan informasi, peristiwa dan cara pandang.

-Ali bin Abi Thalib bahkan menggambarkan “tulisan adalah tamannya para ulama”.

-Imam al Ghazali adalah jurnalis ketika menceritakan ulama di zamannya dalam Ihya Ulumuddin.

-At-Thabari adalah jurnalis ketika dia merekam peristiwa sejak Nabi Adam sampai peristiwa di zamannya dalam tarikh al Umam wa al Muluk.

-Ibnu Abdi Rabbin juga jurnalis, ketika dia menuturkan peristiwa-peristiwa sosiokultural dunia Islam klasik.

 Para ulama Islam itu merupakan jurnalis-jurnalis andal di zamannya. Mereka jujur dan dapat dipercaya menyampaikan informasi secara obyektif. Mereka telah berjasa bukan saja sebagai perekam peristiwa atau pengawal peradaban Islam, melainkan juga tonggak-tonggak sejarah perkembangan Islam.

Kitab-kitab yang mereka tulis menjadi media yang kemudian bisa dipelajari oleh generasi saat ini. Satu hal paling penting yang dapat diambil hikmahnya menurut saya adalah, menjadi jurnalis yang obyektif tidak perlu menanggalkan KEBENARAN AGAMA YANG DIANUT.

Para ulama di atas mampu membuktikan, jurnalis dengan cara pandang yang dibalut dengan Individu Islami, tidak akan menghilangkan obyektivitas.

Kebenaran dalam Islam yang sudah dibakukan dalam kitab suci, tidak menghilangkan obyektivitas jurnalis dalam melihat realita kehidupan.

Tugas yang diemban seorang jurnalis memang tidak ringan, juga tidak mudah. Disebut demikian, karena selain mengemban tugas yang berat, juga mudah terpeleset ke wilayah ­ghibah dan fitnah. Untuk tidak jatuh pada dua wilayah ini, seorang jurnalis harus super hati-hati. Selain harus piawai melacak data, memiliki wawasan yang luas, kemampuan menulis yang mumpuni, para jurnalis juga dituntut memahami dan mematuhi kode etik jurnalistik.

Seorang jurnalis muslim sanggup menjadi jurnalis profetik. artinya, yang sanggup membawa amanat agama serta mampu melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, sehingga mendorong manusia untuk berbuat baik, dan mencegah kemunkaran.  “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 110).

[Read More...]


Inilah Cara Menulis Berita Bagi Wartawan Pemula



Akhirnya saya  menemukan rujukan yang pas belajar menulis berita bagi wartawan pemula. Meskipun sebenarnya banyak juga rujukan lain yang bisa dicari di mbah google :)

Bagi yang selama ini mengalami kesulitan menulis berita, tidak cukup hanya memahani 5 W + 1 H dan piramida terbalik. Latihan menulis terus menurus adalah cara alamiah untuk meningkatkan kualitas tulisan.

Berikut adalah artikel rujukan yang saya maksud. Berasal dari blog wartawan senior asal Sumatera Utara, yaitu Jarar Siahaan. Selamat membaca :)
Menulis Berita Bagi Reporter Pemula :

Beberapa teman seprofesi saya, redaktur di koran lokal terbitan Medan dan juga suratkabar nasional di Jakarta, dalam kesempatan berkomunikasi via telepon sering mengeluhkan sulitnya mencari reporter yang mampu menulis berita dengan baik.

“Waktu direkrut, dia mengerti dan tahu menjelaskan apa itu 5W1H dan piramida terbalik, tetapi setelah beritanya ditulis, pusing saya membacanya karena tidak jelas apa maksudnya,” kata seorang teman wartawan yang pernah bekerja sebagai pemimpin redaksi di sebuah koran harian. “Lalu kalau dia tidak mengirim berita, alasannya karena tidak ada berita yang menarik untuk diliput.”

Tidak tahu teknik menulis berita dengan baik, dan tidak mengerti bagaimana cara mencari berita yang layak-tulis. Masalah ini saya pikir terjadi di semua daerah di Indonesia, banyak koran mengalaminya. Apalagi jumlah media cetak semakin banyak sementara orang yang benar-benar terpanggil menjadi wartawan sangatlah sedikit.

Di bawah ini saya bagikan beberapa tips jurnalistik dari pengalaman saya selama 15 tahun lebih menulis berita di koran dan situs Internet. Sekarang untuk level reporter pemula, dan nanti di kesempatan lain saya akan menulis tips dan teknik jurnalistik untuk tingkat redaktur agar tidak “ditokoh-tokohi” reporter.
Tips jurnalistik dasar bagi wartawan pemula: bagaimana menulis berita yang baik untuk koran

Tips cara menulis berita #1: Menulis dengan jujur. Fakta tidak boleh dipelintir. Opini dan penafsiran harus ditulis dalam alinea yang berbeda. Boleh tidak netral, tapi harus independen.

Berbohong dalam berita adalah dosa terberat wartawan. Jika jumlah aktivis LSM yang mendemo bupati hanya puluhan orang, jangan tulis ratusan atau ribuan orang. Berita bohong seperti ini sangat sering muncul di koran-koran daerah, terutama menyangkut liputan pilkada.

Jika harus menulis interpretasi atas sebuah fakta, tuliskanlah di paragraf terpisah, dan tunjukkan secara jelas kepada pembaca supaya mereka tahu mana yang fakta dan mana opini atau penafsiran si wartawan.

Reporter yang meliput berita di lapangan harus bersikap independen terhadap semua pihak yang terkait dengan topik tulisannya. Berikan kesempatan yang sama bagi semua narasumber untuk menjelaskan versi mereka, jangan memvonis kebenaran. Wartawan boleh tidak netral, misalnya kalau harus memihak pada rakyat yang jadi korban penindasan penguasa, namun harus selalu independen dengan memberikan kesempatan pada penguasa untuk berbicara.

Tips cara menulis berita #2: Tanda Baca koma dan pola piramida terbalik.

Berhati-hatilah menggunakan tanda baca koma. Bila salah penempatan, maka redaktur di kantor redaksi bisa salah memahami laporan anda. “Amir memukul, Budi ditangkap polisi” (yang memukul ialah si Amir, kok malah Budi yang ditangkap) adalah berbeda maknanya dengan “Amir memukul Budi, ditangkap polisi” (ini benar, yang ditangkap adalah Amir).

Menulis berita biasa haruslah dalam format piramida terbalik. Yang paling penting di bagian paling atas; alinea-alinea di bawahnya semakin kurang penting. Saya sering membaca berita koran daerah yang memuat nama-nama pejabat yang menghadiri sebuah acara seremonial pada alinea kedua atau ketiga, padahal inti beritanya justru di alinea kelima atau bahkan menjelang akhir.

Tips cara menulis berita #3: Catat dengan detail. Dengarkan dengan cermat. Rekam, jangan andalkan ingatan.

Saya sering melihat reporter koran yang baru beberapa tahun bekerja melakukan wawancara atau liputan berita di lapangan dengan tidak mencatat sama sekali! Manusia dengan otak super! Bahkan hanya duduk di warung kopi dengan jarak seratusan meter dari lokasi demo atau acara seremonial yang akan jadi topik beritanya. Tapi sepulang meliput, dia bisa dengan santai menulis berita di komputer warnet, tanpa takut sedikit pun bahwa kemungkinan ada data dan fakta yang salah-tulis.

Wartawan pemula sering malu untuk bertanya, “Pak Kadis, ejaan nama Bapak yang benar Jhonny atau Joni atau bagaimana?”

Kalau narasumber mengucapkan kalimat dengan makna ganda atau kurang jelas, tanyakan kembali dan tegaskan. Jangan sampai yang dia maksud adalah “Polisi belum akan memeriksa dia” tapi anda tulis dalam berita sebagai “Polisi tidak akan memeriksa dia”.

Tips cara menulis berita #4: Tulis dalam kalimat yang jelas, lengkap, dan jernih.

Redaktur koran harian akan membiarkan naskah berita reporter yang ditulis dengan kalimat yang membingungkan, karena dia dikejar tenggat menyelesaikan halamannya. Kalau anda menulis berita kriminal tentang mencuri, maka sebutkan sejelas-jelasnya SIAPA yang mencuri, SIAPA yang menjadi korban, dan APA yang dicuri. Jangan anda malah asyik menulis BAGAIMANA pencurian itu terjadi, atau ajakan kapolsek agar warga melakukan ronda malam.

Yang paling mendasar dalam sebuah berita biasa ialah APA dan SIAPA, baru kemudian DI MANA, KAPAN dan yang lainnya. Jangan tulis “Menurut Amir, bla-bla-bla…” tanpa anda jelaskan siapa itu si Amir; apakah dia demonstran, penonton aksi demo, atau pendukung pihak yang didemo.

Sering saya melihat pembaca koran menggerutu, “Apa maksudnya berita ini, tak jelas.” Berita mesti ditulis dengan kalimat yang jernih. Susunlah kalimat-kalimat tunggal, dan sebisa mungkin hindari memakai anak kalimat jika hal itu berpotensi membuat pembaca bingung.

Tips cara menulis berita #5: Fokus pada topik berita. Jangan melebar ke sana-sini.

Sejak meliput dan wawancara di lapangan, reporter koran sudah harus tahu apa topik atau sudut pandang laporannya. Bila memilih “nasib guru honorer berupah kecil”, maka temuilah pihak-pihak yang terkait dengan isu tersebut. Selain wawancara dengan guru, tanyai juga kepala sekolah, pejabat Dinas Pendidikan, anggota DPRD dari komisi yang membidangi pendidikan, pensiunan guru, dll. Jangan malah anda hanya mengutip komentar aktivis LSM karena dia punya saudara yang baru diputus-kontrak sebagai guru honorer.

Kalau misalnya anda kesal melihat seorang pejabat yang suka berindehoi di kafe-kafe malam, maka liputlah itu secara khusus dan jangan selipkan pada berita bertopik lain, “Ditanya mengenai dugaan korupsi stafnya, Kepala Dinas yang sering berdisko di Tenda Biru ini mengatakan….” Terlalu nampak ‘kali tak dikasih amplop. Malu kita sebagai wartawan.

Tips cara menulis berita #6: Tulis dengan proporsional, jangan berlebihan.

Ini kelemahan banyak reporter koran di daerah. Fakta yang diaperoleh dari narasumbernya, katakanlah kejaksaan, adalah bahwa Kabag Umum sedang diselidiki terkait kasus dugaan penggelembungan dana pembelian seprai dan gorden rumah dinas bupati. Tapi kemudian ditulisnya dalam berita “Tapanuli Utara sarang korupsi”. Jika anda ingin menulis berita Tapanuli Utara sebagai sarang korupsi, maka beberkanlah sekian banyak data kasus korupsi di daerah itu.

Ada wartawan koran menulis berita “Dengan arogannya Camat menjawab via telepon bahwa…” hanya karena si narasumber berbicara ketus-ketus.

Sebaliknya reporter lain yang baru mendapat amplop tebal dari pejabat mengirim naskah berita ke redaksinya “Bupati yang sangat dicintai rakyatnya ini mengatakan…,” padahal si bupati baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan beberapa kali didemo warga.

Tips cara menulis berita #7: Periksa kalimat kutipan, pernyataan off the record, konfirmasi, dan “ucapan di kedai kopi”.

Jangan biarkan beritamu memiliki celah untuk digugat ke pengadilan. Jika harus menulis kalimat langsung, maka tulislah seperti apa adanya diucapkan oleh narasumber. Bila dia mengucapkan kalimat dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Batak, telitilah saat menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Saat melihat catatan atau mendengar rekaman wawancara, jika anda bingung atau lupa mana bagian informasi yang merupakan pernyataan off the record (tidak untuk ditulis) dan mana yang bukan, tunda dulu menuliskan bagian itu sebelum berhasil mempertanyakan kembali pada narasumber berita.

Si A menuding si B. Apakah anda sudah melakukan konfirmasi pada si B? Jika belum, jangan dulu menulis berita itu. Kalaupun harus, karena alasan-alasan tertentu, seperti deadline atau faktor kemenarikan topik berita, maka samarkanlah secara total identitas si B. Kalau si A menuding si B dalam tiga hal, maka konfirmasinya tidak boleh hanya menyangkut satu hal.

Wartawan koran duduk-duduk santai bersama pejabat dan politikus di kedai kopi, lalu ada seorang pejabat yang melontarkan pernyataan menarik, kemudian si reporter mengutip kalimat tadi dalam beritanya dengan menuliskan nama si pejabat. Jangan lakukan yang begini. Anda harus kembali menemui si pejabat untuk meminta izin apakah kalimatnya itu boleh anda kutipkan ke dalam berita.

Tips cara menulis berita #8: Yang terakhir, dan ini sangat mendasar: Patuhilah kode etik jurnalistik yang melarang wartawan melakukan plagiat atau menjiplak.

Jangan kira jika anda mengutip beberapa kalimat berita dari koran lain, atau menyadur bahan dari Internet, maka hal itu tidak akan ketahuan. Percayalah, cepat atau lambat akan ada pembaca yang komplain dan menyampaikannya kepada redaksi anda di kantor. Jika begitu, karir kewartawanan anda sudah sedang di ujung tanduk. Redaktur anda akan wanti-wanti untuk menerbitkan berita yang anda laporkan, dan koran lain pun akan berpikir keras untuk menerima lamaran dari wartawan tukang jiplak.

Saya punya pengalaman soal ini. Dulu di sebuah koran mingguan, di mana saya menjadi pemimpin redaksi, ada seorang redaktur saya yang menulis ulasan mengenai ulos Batak “sepanjang air sungai mengalir” alias sangat-sangat panjang. Tulisan itu terbit beberapa edisi, dan memakan ruang satu halaman penuh. Pada edisi kedua, ada seorang pembaca mengirim email kepada saya, dan ada dua orang lainnya yang menelepon langsung ke ponsel saya. Mereka komplain dan mengatakan bahwa artikel perihal ulos Batak itu adalah plagiat alias dijiplak dari situs blog di Internet, dan bukan karya si redaktur.

Memang pada tulisan itu, di bawah judulnya, tertulis “oleh…” (tanda titik-titik adalah nama si redaktur), tanpa keterangan sedikit pun bahwa karya tersebut dikutip dari sejumlah blog Internet. Bahkan dengan beraninya si redaktur menulis kredit-foto pada gambar-gambar ulos: “Foto oleh…” (juga tertulis namanya).

Setelah saya cek dan benar bahwa semua isi artikel dan foto itu adalah karya cipta milik beberapa blogger di Internet, pada koran edisi berikutnya saya menambahkan keterangan di bawah judul: “Dikutip dari berbagai sumber di Internet”. Seharusnya saya hendak menulis alamat-alamat blog yang dikutip, tapi ada alasan tertentu sehingga tidak jadi.

Beberapa hari kemudian dalam rapat redaksi, si redaktur malah protes pada saya. “Mengapa Pemred bikin begitu. Itu sama saja telah melecehkan saya. Berhari-hari saya mencari bahannya dan menggabungkannya menjadi satu tulisan,” katanya.

Bah, makjang! Sudah ketahuan menjiplak tapi masih berkelit pula. Yang dilecehkan itu sebenarnya siapa: dia atau blogger si penulis asli? Tidak lama kemudian, setelah muncul kesalahan-jurnalistik lain dalam tugasnya sebagai redaktur, akhirnya saya memecat dia dan mencari redaktur baru.
[Read More...]


Meliput Kejahatan Asusila : Melepas Asumsi dan Stigma



Dalam dua bulan terakhir, setidaknya dalam lima kali kesempatan bertemu dengan para wartawan di lima propinsi, saya mendiskusikan mengenai Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Asusila. Di Makasar, ada cerita menarik dari seorang wartawan lokal. Koran tempatnya bekerja pernah disomasi oleh orang tua seorang murid sekolah menengah atas di kotanya, karena memberitakan sebuah peristiwa perkosaan di kota itu, dan menyebut nama korban sebagai “Mawar”. “Kami sudah menyamarkan nama korban, tapi kog masih disomasi juga?” tanya wartawan itu. Masalahnya, orang tua yang menyomasi koran lokal itu keberatan karena putrinya bernama Mawar, dan menjadi siswi di sekolah menengah yang dimaksud dalam berita itu. Apes. Untung persoalan ini bisa diselesaikan dengan damai.

“Sebut saja namanya Mawar –atau Bunga, Melati—“,” adalah kalimat yang sering digunakan media dalam memberitakan kasus kejahatan asusila, khususnya korban perkosaan atau perundungan seksual. Saya tidak paham sejak kapan cara ini dipilih. Sejak menjadi wartawan awal 1990, cara ini sudah dilakukan. Banyak contoh ketika media hanya sekedar menyamarkan nama korban, namun lalai menyamarkan data lainnya, seperti alamat, identitas orang tua, guru, sekolah dan lainnya, sehingga upaya mengganti nama korban (atau berlaku juga untuk pelaku di bawah umur), menjadi sia-sia. Padahal Kode Etik Jurnalistik yang berlaku universal maupun yang disepakati berlakunya sejak 2006, mengatur bahwa identitas dari korban kejahatan asusila dan pelaku di bawah umur harus dirahasiakan. Pasal 5 KEJ Indonesia menyebutkan: “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Penafsiran dari pasal ini adalah: a) Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang, yang memudahkan orang lain untuk melacak. B) Anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah.

Lantas, sesudah berdiskusi, teman-teman wartawan peserta workshop jurnalistik yang diadakan Dewan Pers itu bersepakat, bahwa penggunaan “Mawar, Bunga, Melati” tidak lagi pas untuk merahasiakan identitas korban kejahatan asusila. Pakai saja inisial 2 huruf, dan jangan lupa perlebar ruang lokasi peristiwa. Tidak perlu menyebutkan alamat, nama jalan, cukup sebutkan areanya. Misalnya: di kawasan utara Makassar. Sebab memberitakan peristiwa kejahatan asusila maksudnya adalah antara lain memberikan peringatan dini atas sebuah modus kejahatan. Jadi yang lebih penting adalah mengeksplorasi identitas pelaku, apalagi jika belum tertangkap, ketimbang menyampaikan detil mengenai korban.

Siang ini, @LenteraID, sebuah komunitas peduli penyintas (survivors) kejahatan pemerkosaan dan perundungan seksual, melakukan diskusi mengenai “Breaking The Silence of Rape and Sexual Abuse”. Saya memonitor beberapa yang dibicarakan melalui linimasa mereka dan beberapa peserta. Sayang sekali saya tidak bisa hadir, meski sempat diundang berbicara oleh panitia. Berbekal pengalaman berdiskusi dengan teman-teman wartawan di daerah dan sejumlah bahan dokumentasi dan riset, saya ingin berbagi mengenai bagaimana harapan kepada media atas peliputan menyangkut korban kejahatan asusila. Jelas, korban adalah perempuan (sangat sedikit yang lelaki), dan kasus yang banyak diberitakan adalah kasus pemerkosaan.

Dalam sejumlah kesempatan diskusi saya memulai dengan mengingatkan (termasuk diri saya sendiri) bagaimana kita menyikapi sebuah tindak kriminal?

     Setiap korban punya keunikan, dan itu membuat setiap peristiwa/tindak kriminal unik
    Bantuan/asistensi terhadap korban tindak kriminal pun menjadi berbeda antara satu kejahatan dengan kejahatan lain, karena dampaknya pada korbanpun berbeda-beda
    Media saat meliput peristiwa/tindak kriminal/kejahatan diharapkan menerapkan strategi pemberitaan yang berbeda pula untuk setiap jenis kasus

Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam sebuah penelitian di AS oleh Dean G. Kilpatrick , 2007) Jenis peristiwa kriminal/kejahatan yang sering diliput media:

     Pemerkosaan dan kejahatan seksual
    Kekerasan dalam rumah tangga
    Kejahatan pada anak-anak
    Pembunuhan
    Mengemudi sambil mabuk

Di AS, pengalaman wartawan dalam meliput pemerkosaan dan kejahatan seksual, biasanya adalah:

    Korban, baik dewasa maupun anak-anak, biasanya tidak ingin identitasnya diketahui publik. Mereka merasa malu
    Korban tak ingin ada yang terinspirasi atas kejahatan yang dialaminya, sehingga tidak mau melapor atau dipublikasikan
    Korban bersedia dipublikasi/diwawancarai media, tapi pihak keluarga keberatan
    Di AS sejumlah negara bagian melarang siapapun (termasuk media) menyebarkan informasi identitas korban kejahatan seksual

Menurut Dean G. Kilpatrick dalam publikasi hasil penelitiannya, di AS, Drug-Facilitated, Incapacitated, And Forcible Rape: A National Study, pemerkosaan adalah jenis kejahatan seksual yang paling sedikit dilaporkan kepada aparat hukum oleh korbannya. Hanya 18% dari kasus pemerkosaan yang dilaporkan ke aparat hukum. Hanya 16% kasus pemerkosaan di kalangan pelajar yang dilaporkan ke polisi. Laporan lengkap penelitian Profesor Kilpatrick dapat diakses di sini: https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/219181.pdf

    Kebanyakan korban tidak laporkan kejahatan seksual yang mereka alami karena mereka tidak ingin keluarga dan kawan tahu, atau mereka tidak ingin
    Korban juga kuatir ada tindakan balasan dari pihak pelaku kejahatan
    Stigma sosial yang cenderung menyalahkan korban kejahatan seksual
    Post-traumatik sesudah alami kejahatan, termasuk mental dissorder, depresi, susah tidur yang dialami korban
    Pelaku kejahatan seksual terutama kepada anak dibawah umur/remaja adalah orang dekat. Mitos “bahaya orang tidak dikenal” tidak akurat dalam kasus kejahatan seksual
    Istilah “Alleged Victim” atau terduga korban “ dianggap merendahkan derajat dari korban yang alami kejahatan seksual. Ada nuansa tidak percaya dalam penggunaan istilah yang seringkali digunakan media.
    Karena itu media diharapkan menggunakan istilah yang netral seperti: “korban melaporkan tindakan pemerkosaan yang dialaminya”.

Saya belum menemukan data persisnya berapa persentase pelaporan kejahatan pemerkosaan yang terjadi di Indonesia. Namun, melihat karakteristik yang hampir sama, saya menduga persentasenya hampir sama, kurang dari 20% yang dilaporkan.

Dari seminar publik yang diadakan @LenteraID terungkap bahwa Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menerima pengaduan 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2011. Sebanyak 3.753 adalah kasus pemerkosaan Rata2 terjadi 10,28 kasus pemerkosaan setiap hari. Angka ini dipercaya jauh lebih kecil dari yang sebenarnya terjadi mengingat korban biasanya enggan melaporkan dengan berbagai alasan terutama yang telah disampaikan di atas.

Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 2010 mencatat, terdapat 40 perempuan korban pemerkosaan. Sementara itu, untuk tahun ini, jumlah korban pemerkosaan sudah mencapai 41 orang. Menurut Kepala Biro Operasional Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sujarno, kejahatan pemerkosaan paling dominan dilakukan di rumah, yakni sebanyak 26 kali. Menurut Komnas Perempuan, sebagaimana dikutip dalam artikel yg ditulis oleh Tunggal Pawestri di Tempo, keengganan korban melaporkan kasusnya disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya stigmatisasi dari masyarakat yang kadang berujung pada pengusiran korban, budaya menyalahkan korban, dan tidak adanya dukungan dari keluarga.

Masih segar dalam ingatan kita kontroversi pernyataan Gubernur DKI Fauzi Bowo atas pemerkosaan yang dialami seorang perempuan dan dilakukan oleh pengemudi mikrolet bersama sekongkol jahatnya. Ucapan Gubenur Fauzi Bowo dianggap sebagai contoh gamblang dari budaya menyalahkan korban. Perempuan pemakai rok mini dianggap menjadi penyebab tindak kejahatan pemerkosaan. Fauzi Bowo sudah meminta maaf atas komentarnya yang kontroversial itu, dan berjanji melakukan pembenahan di angkutan umum untuk lebih melindungi penumpang.

Bagaimana media meliput kejahatan asusila? Di atas saya telah menyampaikan pasal khusus dalam Kode Etik Jurnalistik yang mengatur soal ini. Melihat dampak bagi penyintas (istilah yang disarankan oleh Komnas Perempuan untuk menyebut korban, maka penanganan terhadap kasus ini perlu dilakukan secara khusus pula. Selain soal kerahasiaan identitas, ada soal perlindungan privasi yang harus diperhatikan, dan diatur dalam Pasal 9 KEJ, yang bunyinya: Pasal 9: “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.” Penafsiran dari pasal itu adalah: a) Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b) Kehidupan pribadi adalah segala kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik

Soal privasi ini termasuk paling sering dilanggar oleh media dalam meliput korban kejahatan asusila. Mulai dari mewawancarai ala detektif polisi dengan mengorek detil mengenai peristiwa, yang berakibat membangkitkan ingatan akan kejahatan yang dialami, sampai gagal merahasiakan identitas sesuai tuntutan etika. Dengan menggunakan alasan The right of public to know, freedom of the press, dan prinsip “melaporkan fakta” media menyajikan laporan yang justru melanggar hak privasi. Padahal sebagaimana telah disampaikan di atas, tiap kejahatan kriminal itu memerlukan penanganan yang berbeda. Menghormati privasi korban kejahatan asusila (juga pelaku jika di bawah umur), adalah bagian dari hak privasi yang dijamin oleh konstitusi pula, dan harus dihormati oleh media.

Helen Benedict, guru besar jurnalistik dari Universitas Columbia, New York, menyebutkan, bagi korban kejahatan asusila, diliput oleh media –baik sebagai korban maupun yang dituduh menjadi penyebab terjadinya kejahatan—sama dengan harus siap dibongkar masa lalunya, aspek pribadinya, termasuk kehidupan seksualnya (The Privacy Rights of Rape Victims in the Media and The Law, Panel Discussion, 1993). Mengapa media berasumsi bahwa detil kehidupan korban kejahatan pemerkosaan dan gaya hidupnya penting untuk disajikan ke publik? Media tidak menyajikan detil kehidupan dari pemilik toko minuman keras yang jadi korban perampokan? Wartawan juga tidak peduli untuk menyelidiki dan menyajikan riwayat kehidupan cinta dari seorang laki-laki pemilik apartemen yang dirampok?

Padahal media cenderung mudah tidak percaya pada perempuan korban kejahatan pemerkosaan? Ingat kasus tuduhan kejahatan seksual yang menimpa mantan direktur Dana Moneter Internasional Dominich Strauss Kahn. Setelah sempat ditahan rumah dan kehilangan jabatannya, belakangan pengadilan New York berubah angin. Perempuan karyawan hotel di NY yang melaporkan dirinya menjadi korban perundungan seksual Tuan Kahn itu terpaksa membuka identitasnya dan bersedia diwawancarai majalah Newsweek. Dia tidak ingin dituduh berbohong, sebagaimana kecenderungan yang muncul dalam persidangan majelis hakim. Tuan Kahn bahkan sudah tidak ditahan rumah. Kecenderungan media untuk tidak mempercayai korban kejahatan asusila menurut Benedict, disebabkan dua mitos: 1) bahwa perempuan memprovokasi/mengundang kejahatan seksual itu dan 2) bahwa perempuan yang mengaku diperkosa biasanya berbohong. Sikap media ini didorong oleh kultur yang masih ada di masyarakat, pula karena media cenderung menggunakan narasi yang cepat, biasa digunakan dan tak perlu berpikir panjang.

Padahal, kejahatan pemerkosaan dan bentuk kejahatan asusila lainnya, kendatipun dilakukan oleh orang dekat, bahkan suami/pacar adalah kejahatan. “Sexual assault is a violent crime motivated by anger, hatred, or more rarely, sadism, in which perpetrators use sexual acts as weapons of degradation and punishment (A Nicholas Groth, Men Who Rape: The Psychology of the Offender, 1979).

Jadi, demikianlah seharusnya media melaporkan kasus kejahatan asusila. Sebagai kejahatan. Bukan sebuah kejadian yang dipicu oleh daya tarik atau perilaku hidup korban.

Mengingat kian meningkatnya kasus kejahatan asusila yang tentu menjadi obyek peliputan media, banyak lembaga penelitian media yang menyajikan sejumlah saran bagi media agar meliput kasus seperti ini dengan penuh empati. Sebelum meliput, saat mewawancarai, saat mengedit dan menyajikannya ke publik, pikirkan seandainya korban kejahatan (dan pelaku di bawah umur) yang akan kita beritakan adalah orang yang kita kenal, kita sayangi. Bisa adik, kakak, anak, keponakan, kerabat, teman dan lainnya. Pikirkan jika media lain menulis tanpa empati, sebagaimana yang akan kita lakukan. Bagaimana perasaan kita?

Selain melakukan peliputan sesuai KEJ, saya menawarkan beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam peliputan kejahatan asusila. Saya kutip dari “Etika pemberitaan yang Perlu diperhatikan dalam kasus pemerkosaan/kejahatan seksual” (Louisiana Foundation Against Sexual Assault, Judy Benitez, Baton Rouge, L.A, 2002)

    Dalam memberitakan kejahatan seksual wartawan/media diharapkan menyeimbangkan antara hak privasi dengan hak publik untuk mengetahui (public right to know)
    Wartawan membuat penilaian (news judgment) kapan aspek detil diperlukan untuk public safety dan early warning, dan kapan detil tertentu hanya akan membuat korban trauma karena teringat kejahatan yang dialaminya. Trauma bisa timbul ketika korban seolah diingatkan kembali akan perannya dalam peristiwa kejahatan yang dia alami. Misalnya, memilih taksi yang tidak bonafid, membiarkan dirinya berdua dalam ruang sepi dengan pelaku, dan lain-lain.
    Wartawan perlu memperhatikan detil tentang pelaku yang relevan dengan peristiwa: deskripsi fisik, bagaimana pelaku dapat akses melakukan kejahatan, ada senjata yang digunakan? Kekerasan fisik? Misalnya korban disekap, dilumpuhkan, dan sebagainya. Eksplorasi data pelaku dan bukan korban!
    Hindari menampilkan detil tentang kebiasaan/gaya hidup korban: habit, sejarah kehidupan seksual, penampilan fisik, baju –hal ini biasanya bisa menimbulkan efek korban jadi pihak yang disalahkan sebagai penyebab kejahatan seksual – karena dianggap memancing/memprovokasi terjadinya kejahatan.
    Hati-hati dalam memilih kata/kalimat yang digunakan dalam naskah berita, termasuk penggunaan istilah. Misalnya korban berparas “cantik” berbadan “langsing”…seolah karena cantik dan langsing dia mengundang terjadinya kejahatan.
    Semua korban pada dasarnya “innocent”.
    Pemerkosaan dan kejahatan seksual pada dasarnya adalah aksi kekerasan atas korban, tak peduli korbannya luka atau tidak secara fisik.
    Gunakan “laporan pemerkosaan” ketimbang “dugaan pemerkosaan”. Kata “dugaan” tidak netral dan mengisyaratkan keraguan media atas kejahatan yang dilaporkan.
    Gunakan istilah “pemerkosaan yang dilakukan kenalan korban” ketimbang “pemerkosaan oleh teman kencan”. Hal ini biasanya digunakan saat korban ternyata kenal dekat dengan pelaku.

Bagaimana meliput kasus pemerkosaan/kejahatan seksual?

    Wartawan perlu membangun rasa percaya kepada korban dan keluarga korban. Kalau perlu tunjukkan contoh peliputan sejenis yang pernah dilakukan
    Gunakan kalimat/kata yang akurat dan sensitif terhadap korban. Pemerkosaan atau serangan seksual bukanlah hubungan seks
    Banyak wartawan pemenang award menunjukkan draf berita yang mereka tulis kepada korban. Ini tidak mengganggu kemerdekaan/independensi jurnalis, tetapi bisa menunjukkan bagian mana yang ditulis kurang sensitif. Hal seperti ini bisa membuat korban sebagai narasumber bahkan bersedia membagi lebih banyak kisah kepada jurnalis
    Menyajikan detil grafis terlalu banyak akan menimbulkan efek dramatisasi yang berlebihan, terlalu sedikitpun akan melemahkan kisah yang kita beritakan. Sampaikan secara terukur, tidak melanggar hak privasi.
    Sajikan informasi yang bisa membuat publik lebih berhati-hati tanpa menempatkan korban sebagai pihak yang ikut bersalah
    Sertakan informasi/alamat kontak organisasi yang dapat membantu korban selamat termasuk narasumber berita kita memulihkan diri dari tidak kejahatan yang dialaminya. Ada banyak kasus kejahatan asusila yang tidak dilaporkan. Informasi mengenai lembaga konseling akan membantu:”silent majority” yang mengkonsumsi berita yang kita sajikan.

Ingin mengetahui lebih banyak mengenai bagaimana media sebaiknya meliput kejahatan, termasuk kejahatan asusila? Silahkan akses link ini: http://www.victimprovidersmediaguide.com/specific.html

Bagaimana dengan “Anak-anak sebagai korban kejahatan seksual. Bagaimana media meliput mereka?”

            Media memberitakannya secara reguler, karena kasusnya marak terjadi. Banyak melibatkan kekerasan fisik maupun kejahatan seksual. Pelakunya bisa orang asing, atau –sering terjadi– adalah orang yang dekat dengan korban (keluarga, tetangga, dll).

Umumnya para ahli berpendapat bahwa korban anak seyogyanya dilindungi dari pemberitaan media. Alasannya adalah

    Anak, karena masih kecil dan dalam pertumbuhan kognitif, belum dapat memahami sepenuhnya apa yang terjadi dirinya dan apa konsekuensi di masa depan
    Orang tua/wali seringkali buat keputusan atas kasus yang menimpa anaknya tanpa pertimbangkan aspek privasi dan kepentingan anak
    Anak-anak mengalami dan menghadapi trauma yang berbeda dengan yang dialami orang dewasa.
    Stigma sebagai korban kejahatan seks berat bagi anak-anak.

Seorang peserta workshop yang diadakan Sekolah Jurnalistik Indonesia PWI di Semarang, Kamis lalu bertanya kepada saya, “bagaimana jika orang tua anak yang bersangkutan bersedia anaknya diwawancarai?”. Jawaban saya merujuk kepada poin di atas yang menyatakan, belum tentu orang tua/wali paham konsekuensi masa depan anaknya jika mereka mengijinkan wawancara dilakukan. Jadi, keputusan ada pada wartawan dan media, bukan pada orang tua/wali.

Mengingat kentalnya aspek psikologis dalam menangani pemberitaan terkait kejahatan asusila, perlu dipikirkan untuk melibatkan ahli dalam melakukan peliputan/wawancara.

Khusus untuk media penyiaran, ada aturan lain yang harus diperhatikan yakni Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan Komisi Penyiaran Indonesia.



Pasal 38: P3SPS KPI 2009, Anak dan Remaja Sebagai Narasumber
Dalam menyiarkan program yang melibatkan anak dan remaja sebagai narasumber, lembaga penyiaran harus mematuhi ketentuan sebagai berikut:

    dilarang mewawancarai anak dan remaja berusia di bawah umur 18 tahun,  mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, seperti:  kematian, perceraian, perselingkuhan orangtua dan keluarga, serta kekerasan  yang menimbulkan dampak traumatik;
    harus mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber; dan/atau
    harus menyamarkan identitas anak dan remaja yang terkait permasalahan  dengan polisi atau proses peradilan, terlibat kejahatan seksual atau korban kejahatan seksual.

Mengingat kian meningkatnya kasus kejahatan asusila yang tentu menjadi obyek peliputan media, banyak lembaga penelitian media yang menyajikan sejumlah saran bagi media agar meliput kasus seperti ini dengan penuh empati. Sebelum meliput, saat mewawancarai, saat mengedit dan menyajikannya ke publik, pikirkan seandainya korban kejahatan (dan pelaku di bawah umur) yang akan kita beritakan adalah orang yang kita kenal, kita sayangi. Bisa adik, kakak, anak, keponakan, kerabat, teman dan lainnya. Pikirkan jika media lain menulis tanpa empati, sebagaimana yang akan kita lakukan. Bagaimana perasaan kita?

Pertanyaan itu untuk saya juga.
By : Uni Lubis
[Read More...]


Apa Itu Kode Etik Jurnalistik



KODE Etik Jurnalistik adalah acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode Etik Jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain, dari satu koran ke koran lain.

Namun secara umum dia berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya:

1. Tanggung-jawab
Tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Wartawan tak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.

2. Kebebasan
Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota masyarakat (milik publik) dan wartawan menjamin bahwa urusan publik harus diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang melawan siapa saja yang mengeksploitasi pers untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

3. Independensi
Wartawan harus mencegah terjadinya benturan-kepentingan (conflict of interest) dalam dirinya. Dia tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktifitas yang bisa melemahkan integritasnya sebagai penyampai informasi atau kebenaran.

4. Kebenaran
Wartawan adalah mata, telinga dan indera dari pembacanya. Dia harus senantiasa berjuang untuk memelihara kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias.

5. Tak Memihak
Laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus secara jelas diidentifikasikan sebagai opini.

6. Adil dan Ksatria (Fair)
Wartawan harus menghormati hak-hak orang dalam terlibat dalam berita yang ditulisnya serta mempertanggungjawab-kan kepada publik bahwa berita itu akurat serta fair. Orang yang dipojokkan oleh sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk menjawab.
[Read More...]


Perbedaan Antara Media Massa Cetak dengan Media Massa Online







Jika di dunia nyata kita mengenal media cetak seperti surat kabar, majalah dan tabloid, maka di
cyberspace ada media online atau portal. Ini adalah salah satu jenis website yang bersifat content oriented. Di dalamnya terdapat berita, artikel dan sebagainya yang harus selalu up to date. Jika memungkinkan, setiap menit bahkan detik harus ada info baru yang dihadirkan.
Untuk membangun dan mengelola sebuah portal, tentu saja dibutuhkan tenaga ahli yang sama seperti pada jenis website lain. Ada webmaster, web programming, web admin, dan web designer. Ibarat sebuah bangunan, mereka ini adalah insinyur, desainer dan tukang bangunannya.
Setelah rumahnya jadi, kita tentu harus mengisinya dengan berbagai macam perabotan rumah tangga. Portal pun demikian. Harus ada content atau isinya. Tanpa content, ia akan kosong melompong seperti rumah tak berpenghuni. Dalam konteks inilah kita memerlukan bantuan content editor.
Secara umum, tugas seorang content editor tidak jauh berbeda dengan redaktur pada media cetak. Bedanya, content editor (selanjutnya disebut “editor” saja) bekerja untuk media online. Tugas mereka adalah menyediakan contet (isi) bagi sebuah portal. Sebagaimana halnya seorang redaktur media cetak, editor juga melakukan proses editing, menulis artikel, menyeleksi naskah, dan seterusnya. Namun tugas-tugas ini, tentu saja disesuaikan dengan jabatan dan job discription mereka.
Jabatan-jabatan pada Media Massa
Agar tidak bingung, berikut saya paparkan sejumlah jabatan penting pada media cetak.
  1. Pemimpin Redaksi, biasa disingkat pemred. Ini adalah jabatan tertinggi pada susunan keredaksian. Ia bertugas menentukan misi dan visi penerbitan, menjalin hubungan baik dengan penerbitan-penerbitan lain, bertanggung jawab terhadap isi penerbitan secara umum, dan sebagainya.
  2. Redaksi Pelaksana. Dalam tugas sehari-hari, redaksi pelaksana (redpel) adalah orang yang paling bertanggung jawab atas lancarnya proses kerja jurnalistik di penerbitannya. Ia juga bertanggung jawab untuk menjaga agar misi dan visi penerbitan tersebut tetap terjaga. Selain itu, ia punya wewenang penuh untuk menentukan apakah sebuah naskah layak muat atau tidak.
  3. Staf Redaksi. Tugas utamanya adalah bertanggung jawab terhadap rubrik tertentu. Misalnya, ada staf redaksi yang bertanggung jawab untuk rubrik wisata, profil tokoh, laporan utama, dan sebagainya. Staf redaksi juga punya wewenang untuk mengedit naskah pada rubriknya. Pada penerbitan yang kecil, mereka tidak punya wewenang untuk menentukan layat muat atau tidaknya suatu naskah. Tapi pada penerbitan besar seperti surat kabar, staf redaksi punya wewenang penuh atas rubrik yang dipegangnya.
  4. Reporter. Ini adalah jabatan terendah pada bagian redaksi. Tugasnya adalah melakukan reportase (wawancara dan sebagainya ke lapangan). Karena itu, merekalah yang biasanya terjun langsung ke lapangan, menemui nara sumber, dan sebagainya.
Pada media online, jabatan-jabatan di atas pun sebenarnya nyaris sama. Hanya istilahnya saja yang berbeda. Misalnya, ada jabatan content manager, content coordinator, dan seterusnya.
Maka, sesuai jabatannya, ada editor yang bertugas untuk mengedit naskah, menyeleksi naskah, dan sebagainya. Mereka juga punya reporter yang terjun ke lapangan untuk mencari berita.
Perbedaan dengan Media Cetak
Sebetulnya, tak ada perbedaan yang terlalu signifikan antara media cetak dengan media online. Dari segi penerapan ilmu jurnalistik, struktur organisasi, dan sebagainya, nyaris semuanya sama. Mungkin hanya perlu dilakukan sedikit penyesuaian karena jenis medianya yang berbeda. Perbedaan yang paling mencolok di antara mereka adalah mediumnya. Yang satu virtual, satunya lagi tercetak. Karena itu, SECARA TEKNIS ada hal-hal tertentu yang – mau tidak mau – membuat mereka berbeda.
Berikut adalah beberapa aspek dari perbedaan-perbedaan tersebut.
Tabel
Perbedaan Teknis Media Cetak dengan Media Online
UnsurMedia CetakMedia Online
Pembatasan panjang naskahBiasanya panjang naskah telah dibatasi, misalnya 5 – 7 halaman kuarto diketik 2 spasi.Tidak ada pembatasan panjang naskah, karena halaman web bisa menampung naskah yang sepanjang apapun. Namun demi alasan kecepatan akses, keindahan desain dan alasan-alasan teknis lainnya, perlu dihindarkan penulisan naskah yang terlalu panjang.
Prosedur naskahNaskah biasanya harus di-ACC oleh redaksi sebelum dimuat.Sama saja. Namun ada sejumlah media yang memperbolehkan wartawan di lapangan yang telah dipercaya untuk meng-upload sendiri tulisan-tulisan mereka.
EditingKalau sudah naik cetak (atau sudah di-film-kan pada proses percetakan), tak bisa diedit lagi.Walaupun sudah online, masih bisa diedit dengan leluasa. Tapi biasanya, editing hanya mencakup masalah-masalah teknis, seperti merevisi salah ketik, dan seterusnya.
Tugas desainer atau layouterTiap edisi, desainer atau layouter harus tetap bekerja untuk menyelesaikan desain pada edisi tersebut.Desainer dan programmer cukup bekerja sekali saja, yakni di awal pembuatan situs web. Selanjutnya, tugas mereka hanya pada masalah-masalah maintenance atau ketika perusahaan memutuskan untuk mengubah desain dan sebagainya. Setiap kali redaksi meng-upload naskah, naskah itu akan langsung “masuk” ke desain secara otomatis.
Jadwal terbitBerkala (harian, mingguan, bulanan, dua mingguan, dan sebagainya).Kapan saja bisa, tidak ada jadwal khusus, kecuali untuk jenis-jenis tulisan/rubrik tertentu.
DistribusiWalau sudah selesai dicetak, media tersebut belum bisa langsung dibaca oleh khalayak ramai sebelum melalui proses distribusi.Begitu di-upload, setiap berita dapat langsung dibaca oleh semua orang di seluruh dunia yang memiliki akses internet.
* * *
Dari penjelasan di atas, Anda dapat melihat dengan jelas bahwa sebagian besar perbedaan jurnalistik media cetak dengan media online hanyalah pada masalah-masalah teknis.
Dari segi sifatnya, ada satu kemiripan antara media online dengan media elektronik seperti radio dan televisi. Mereka selalu dituntut untuk menyajikan berita yang paling up to date secepat mungkin. Mereka juga biasanya tidak perlu menunggu hingga seluruh data terkumpul. Begitu ada data, walau hanya sedikit, mereka langsung melaporkannya. Jika ada perkembangan baru mengenai peristiwa tersebut, mereka melaporkannya lagi. Demikian seterusnya. Karena itu, aturan penulisan di dalam media online cenderung lebih bebas, tidak terlalu terpaku pada kaidah-kaidah bahasa dan jurnalistik yang berlaku umum.
Yang Harus Dikuasai oleh Content Editor
Selain menguasai – tentu saja – ilmu jurnalistik, seorang jurnalis media online hendaknya juga menguasai dasar-dasar HTML (Hyper Text Mark up Language). Tidak harus terlalu mendalam, cukup yang umum-umum saja. Minimal, mereka harus mengetahui bagaimana cara membuat huruf tebal, huruf miring, menempatkan gambar di dalam naskah, membuat hyperlink, dan beberapa pengetahuan HTML mendasar lainnya. Ini akan sangat membantu mereka dalam pembuatan tulisan yang sesuai dengan sifat-sifat halaman web yang jauh berbeda dengan halaman media cetak.
Alur Kerja
Secara teknis, tugas redaksi media online cukup mudah. Ia hanya perlu mengisi sebuah formulir online. Ada isian judul, ringkasan berita atau lead, artikel penuh, dan isian-isian lainnya. Setelah mengklik tombol Submit, artikel tersebut sudah langsung online. Maksudnya, sudah bisa dibaca oleh siapa saja di seluruh dunia yang memiliki akses internet.
Mengenai alur kerja, sebenarnya media online tidak jauh berbeda dengan media cetak. Karena sifatnya yang harus menyajikan berita secara cepat (sebagaimana halnya media elektronik), maka media online perlu melakukan beberapa penyesuaian di dalam proses kerjanya.
Ketika ada kejadian, reporter di lapangan menelepon redaktur. Si redaktur pun menelepon balik si reporter, meminta informasi lebih lanjut, dan jika perlu dilakukan cek dan ricek. Setelah itu, redaktur menulis naskah dan meng-uploadnya melalui formulir online. Ini adalah contoh alur kerja yang standar.
Bisa juga, si reporter melakukan reportase dan menulis sendiri. Tulisan ini dikirim ke redaksi melalui email atau media-media lain. Proses selanjutnya sama seperti di atas.
Umumnya, yang berhak untuk meng-upload naskah hanyalah redaksi. Namun, ada media yang memberikan wewenang khusus kepada reporter tertentu yang telah dipercaya. Si reporter ini bisa meng-upload sendiri berita yang mereka tulis, melalui komputer warnet, laptop, atau media-media lain yang memungkinkan. Ada pula media – biasanya media online yang sudah besar – yang memiliki tim uploader khusus. Jadi, editor tidak harus meng-upload sendiri naskah-naskah yang akan dimuat. Mereka tinggal melakukan tugas-tugas jurnalistik seperti mengedit dan menyeleksi naskah. Setelah fix, naskah itu diserahkan pada tim uploader untuk di-online-kan.
Masih ada beberapa alur kerja yang bisa diterapkan pada media online. Namun alur-alur di atas cukuplah menjadi contoh. Semoga dapat menjadi gambaran yang memuaskan.
Mengatasi Aspek Keamanan
Salah satu hal terpenting di dalam media online adalah: redaksi harus memastikan bahwa hanya naskah-naskah yang telah disetujui yang akan tampil di situs mereka. Jangan sampai muncul naskah yang belum layak muat (misalnya, di-online-kan oleh reporter yang tidak punya wewenang untuk meng-upload sendiri naskah mereka), atau dimuat oleh seorang penyusup dari tempat lain. Ini tentu bisa merusak kredibilitas media online tersebut.
Untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini, biasanya redaksi media online punya sistem kerja yang cukup ketat. Berikut beberapa di antaranya:
  • Halaman untuk meng-upload naskah (sebut saja halaman admin) diberi password khusus dan hanya diketahui oleh tim editor atau tim uploader yang telah diberi wewenang.
  • Halaman admin ini hanya bisa diakses dari IP Address tertentu. Misalnya, hanya bisa diakses dari IP Address kantor redaksi. Ini dapat mencegah masuknya naskah yang di-upload oleh seorang penyusup dari tempat lain. Bahkan, ada media yang halaman adminnya hanya boleh diakses dari komputer tertentu. Komputer lain, walau berada di kantor yang sama, tidak bisa mengakses halaman admin.
  • Redaksi melakukan seleksi yang sangat ketat terhadap siapa saja yang diberi wewenang penuh untuk melakukan upload naskah. Mereka haruslah orang-orang yang telah dipercaya.
  • Dan masih banyak cara lain yang dapat diterapkan oleh redaksi.
Demikianlah sedikit gambaran mengenai tugas content editor. Bagi Anda yang bercita-cita menjadi seorang jurnalis, tak ada salahnya melirik profesi yang satu ini. Kualifikasi yang harus Anda siapkan tidak jauh beda dengan kualifikasi bagi wartawan untuk media cetak. Masalah penguasaan HTML dan sebagainya, itu biasanya bisa dipelajari sambil jalan, karena memang sangat mudah dipelajari. (s.mdf/dari berbagai sumber)
[Read More...]


Tertarik Jadi Jurnalis?




Untuk memperingati Hari Kemerdekaan Pers Internasional pada 3 Mei ini. Maka, saya menulis sebuah post yang memang ditujukan untuk para "Satria Berpena". Ya, walaupun belakangan ini, beberapa oknum wartawan ada yang tidak selalu jujur,  tidak objektif dan berat sebelah dalam memberitakan sesuatu. Tapi, masih banyak wartawan yang menjunjung tinggi etika jurnalistik demi memberi informasi yang berimbang.

Kebebasan pers di Indonesia memang dianggap semakin baik karena jumlah kekerasan terhadap wartawan semakin berkurang. Tapi, tetap saja Indonesia berada di peringkat 139 menurut RSF. Kebebasan pers di Indonesia sudah baik bahkan bisa dikatakan surplus (menurut Agus Sudibyo) tapi masih belum diikuti oleh komitmen dan dedikasi terhadap kode etik jurnalistik oleh beberapa wartawan.
 
                                                                Jurnalis Sejujur Spongebob

Hasilnya, kasus seperti pemukulan terhadap wartawan dan perampasan kamera bisa saja terjadi bukan karena narasumbernya, tapi juga karena ulah wartawannya itu sendiri. Ada pula media yang dari pagi hingga malam kerjaannya hanya mengkritik pemerintah dan terkesan menghakimi tanpa ada analisis.

Oke, segitu dulu tentang serba-serbi pers di Indonesia di jaman sekarang. Sekarang saya mau menulis tentang apa sih kelebihannya menjadi seorang wartawan dibanding dengan profesi lainnya. 

Bisa berpetualang

Bagi kalian yang suka jalan-jalan, bisa mempertimbangkan untuk jadi seorang wartawan. Wartawan itu sering jalan-jalan atau berkeliling demi mendapat berita. Kita bisa mendapat kesempatan mengunjungi tempat yang belum pernah kita datangi. 

Kerja pindah-pindah


Jurnalisme itu bisa sangat beragam, misalnya awalnya kita adalah wartawan ekonomi, lalu bisa pindah ke olahraga, kesehatan, gaya hidup bahkan politik. Tentu hal ini bisa memperkaya wawasan kita. Nah, bagi yang bosan dengan pekerjaan yang gitu-gitu aja, coba deh jadi jurnalis. 

Tentunya setiap pos berita memiliki tantangan dan kelebihannya masing-masing, makanya kita harus terus beradaptasi dengan kondisi yang bisa berubah setiap waktu.
                                              ( Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Nasional)


Bertemu orang penting

Mulai dari tokoh penting, musisi, artis hingga presiden mungkin saja kita temui jika menjadi seorang jurnalis. Kita bisa mewawancari tokoh penting dengan santai dan leluasa. Bisa datang secara GRATIS ke berbagai seminar besar dan konser musik demi meliput dan menulis berita. 

Memberi informasi pada orang banyak

Seorang jurnalis bisa menyampaikan informasi kepada orang banyak dengan caranya sendiri. Wartawan juga tidak hanya menyebarkan berita, tapi juga fakta-fakta baru. Karya jurnalis yang baik adalah yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. 

Menjadi pribadi tangguh

Siapa bilang jadi jurnalis itu mudah? Jurnalis itu berat dan penuh risiko. Jurnalis dituntut membongkar fakta dan mencari kebenaran. Dalam petualangan mencari fakta ini, bisa sangat berbahaya bahkan mengancam keselamatan. Belum lagi deadline yang selalu mengejar. 

Jurnalis harus siap melakukan liputan dimana pun dan kapan pun saat dibutuhkan. Entah pagi atau malam, sedang hujan bahkan badai sekalipun. Pekerjaan ini membuat kita tidak cengeng dan menjadi orang yang tangguh. 

Tertarik jadi jurnali??
[Read More...]


Recent Comments

Kembali Keatas Copyright © 2010 | Klik FB atau silahkan meluncur ke Sudirman Mendrofa